16 July 2014

10 Malam Terakhir Ramadhan

Menuju akhir ramadhan rasa khusyuk itu mulai pudar dalam sebagian sanubari. Shaf-shaf masjid pun kembali kepada jemaah yang biasa shalat subuh di luar ramadhan. Habis tenaga mereka dengan kesibukan mempersiapkan hari raya kemenangan di pusat-pusat perbelanjaan.

10 hari terakhir ramadhan sebagian umat Islam tumpah ruah di pasar, mall, plaza, hanya sekedar untuk menghiasi raga. Berlomba berhias diri hanya untuk menunjukkan siapa yang paling meriah dalam menyambut bulan Syawal. Tapi mereka terlena akan mempercantik qalbu guna menjadi insan yang terlahir suci kembali.

Sepertinya budaya berlebihan dalam menyambut Syawal sudah mendarah daging. Kita lebih senang menjalankan agama yang sifatnya seremonial yang penuh dengan gagap gempita. Kita tidak terbiasa mencari makna atas sebuah kewajiban yang menjadi asas kenapa kewajiban itu diperintahkan. Kita lebih senang memperindah raga daripada jiwa sehingga tidak heran jika selepas ramadhan banyak orang yang berpakaian indah namun mereka lupa dengan masjid, al-Quran, dan kemulian yang lain dari agama Islam ini.

10 hari terakhir Ramadhan, alhamdulillah masih ada sebagian orang yang mengecangkan ikat pinggang dan menjauhkan lambungnya dari tempat tidur. Mereka semakin khusyuk berlomba mencari cinta Tuhannya. Pakaian mereka sederhana namun hati-hati mereka berkilauan karena semakin diasah oleh sujud dan tilawah. Harta mereka lebih dibelanjakan dijalan Allah dengan bersedakah, berinfaq dan zakat.

Contoh-contoh sudah nyata, dan kita tinggal memilihnya. Dan yang dituntunkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jurusan akherat, hingga di puluhan akhir Ramadhan beliau lebih gigih mendekatkan diri kepada Allah, sampai tidak mendekati isteri-isterinya, demi meraih yang lebih baik dan lebih berharga yakni kehidupan di akherat kelak.

Ramadhan dan lailatul qadar yang berisi khabar-khabar gembira itu adalah bagai madrasah yang mendidik Ummat Islam agar menapaki jurusan akherat dan tidak terlena pada tipuan dunia. Adanya khabar gembira tentang pintu-pintu Surga dibuka, pintu Neraka ditutup, syetan-syetan di belenggu, dan ada satu malam Ramadhan yang lebih baik daripada 1.000 bulan; itu semua adalah jurusan akherat. Agar Ummat Islam ini takut siksa adzab Neraka, dan mengharap Surganya Allah Ta’ala. Tidak terlena pada mengutamakan kehidupan dunia.



Kesungguhan ibadah Nabi SAW dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi kesungguhan ibadah beliau pada dua puluh hari pertama Ramadhan. Aktifitas ibadah beliau digambarkan oleh hadits di atas adalah
  1. Menghidupkan malamnya, yaitu mempergunakan seluruh atau sebagian besar waktu malam dalam ibadah. Terutama sekali adalah melakukan shalat tarawih dan witir serta membaca Al-Qur’an. Pada malam selain Ramadhan, shahabat Hudzaifah bin Yaman RA pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah SAW. Dalam satu raka’at shalat malam tersebut, beliau SAW membaca tiga surat sekaligus; Al-Baqarah, An-Nisa’, dan Ali Imran. Artinya, dalam satu raka’at beliau SAW membaca 5 juz lebih (HR. Muslim no. 772). Shahabat Ibnu Mas’ud pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah SAW di luar bulan Ramadhan. Begitu lama dan panjangnya shalat beliau SAW, sampai-sampai Ibnu Mas’ud berniat duduk dan meninggalkan Rasulullah SAW shalat sendirian (HR. Bukhari 1135 dan Muslim no. 773). Demikian kesungguhan shalat malam (tahajud dan witir) beliau SAW di luar Ramadhan. Maka bagaimana lagi dengan kesungguhan shalat malam (tarawih dan witir) beliau SAW di bulan Ramadhan? Terlebih lagi dengan sepuluh hari terakhir Ramadhan?
  2. Membangunkan keluarganya, yaitu membangunkan istri-istri beliau SAW untuk melakukan shalat tarawih dan witir. Di luar bulan Ramadhan, beliau SAW biasanya membangunkan istrinya ‘hanya’ untuk shalat witir sebelum waktu Shubuh, seperti yang biasa beliau lakukan terhadap Aisyah RA (HR. Bukhari no. 512 dan Muslim no. 512)  
  3. Bersungguh-sungguh dalam ibadah. Tentunya shalat tarawih dan witirnya lebih lama, bacaan Al-Qur’annya lebih banyak, dzikir dan istighfar diperbanyak, muhasabah diri lebih banyak. Dan seterusnya.
  4. Mengencangkan sarungnya. Mengenai maksud dari ‘mengencangkan sarungnya’, imam An-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama. Sebagian ulama menyebutkan maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi kesungguhan ibadah pada waktu-waktu yang lain. Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah mencurahkan tenaga dan konsentrasi untuk beribadah semata. Sebagian lainnya menyatakan hal itu adalah bahasa kiasan atas sikap tidak menggauli istri (pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan) agar bisa totalitas dalam ibadah. (Shahih Muslim bi-Syarh An-Nawawi, 4/282 dan Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/248)
Kesungguhan ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini memiliki banyak hikmah. Salah satunya adalah bisa melakukan I’tikaf dan mencari lailatul qadar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut,

وعن عائشة رضي الله عنها ، قالت : كَانَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يُجَاوِرُ في العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، ويقول : (( تَحرَّوا لَيْلَةَ القَدْرِ في العَشْرِ الأواخرِ منْ رَمَضانَ ))

Dari Aisyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, “Bersungguh-sungguhlah kalian mencari lailatul qadar pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Di antara hikmah lainnya adalah bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu ibadah yang istimewa, sebelum bulan istimewa ini benar-benar berlalu. Dengan demikian, ibadah di bulan suci ini bisa diakhiri dengan husnul khatimah. Bagaimanapun juga, sang juara ditentukan di garis finis. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW,

وَإِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung bagaimana dengan penutupannya (bagaimana ia diakhiri).”
(HR. Bukhari no. 6607)

(Sumber: https://docs.google.com/document/d/1tefsZBhU1TZz0lEahgyawtDVoFmbK7c1xuC5xa9hbWE/edit)