Menuju
akhir ramadhan rasa khusyuk itu mulai pudar dalam sebagian sanubari. Shaf-shaf
masjid pun kembali kepada jemaah yang biasa shalat subuh di luar ramadhan.
Habis tenaga mereka dengan kesibukan mempersiapkan hari raya kemenangan di
pusat-pusat perbelanjaan.
10
hari terakhir ramadhan sebagian umat Islam tumpah ruah di pasar, mall, plaza,
hanya sekedar untuk menghiasi raga. Berlomba berhias diri hanya untuk
menunjukkan siapa yang paling meriah dalam menyambut bulan Syawal. Tapi mereka
terlena akan mempercantik qalbu guna menjadi insan yang terlahir suci kembali.
Sepertinya
budaya berlebihan dalam menyambut Syawal sudah mendarah daging. Kita lebih
senang menjalankan agama yang sifatnya seremonial yang penuh dengan gagap
gempita. Kita tidak terbiasa mencari makna atas sebuah kewajiban yang menjadi
asas kenapa kewajiban itu diperintahkan. Kita lebih senang memperindah raga
daripada jiwa sehingga tidak heran jika selepas ramadhan banyak orang yang
berpakaian indah namun mereka lupa dengan masjid, al-Quran, dan kemulian yang
lain dari agama Islam ini.
10
hari terakhir Ramadhan, alhamdulillah masih ada sebagian orang yang
mengecangkan ikat pinggang dan menjauhkan lambungnya dari tempat tidur. Mereka
semakin khusyuk berlomba mencari cinta Tuhannya. Pakaian mereka sederhana namun
hati-hati mereka berkilauan karena semakin diasah oleh sujud dan tilawah. Harta
mereka lebih dibelanjakan dijalan Allah dengan bersedakah, berinfaq dan zakat.
Contoh-contoh
sudah nyata, dan kita tinggal memilihnya. Dan yang dituntunkan oleh Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam adalah jurusan akherat, hingga di puluhan akhir Ramadhan
beliau lebih gigih mendekatkan diri kepada Allah, sampai tidak mendekati
isteri-isterinya, demi meraih yang lebih baik dan lebih berharga yakni
kehidupan di akherat kelak.
Ramadhan
dan lailatul qadar yang berisi khabar-khabar gembira itu adalah bagai madrasah
yang mendidik Ummat Islam agar menapaki jurusan akherat dan tidak terlena pada
tipuan dunia. Adanya khabar gembira tentang pintu-pintu Surga dibuka, pintu
Neraka ditutup, syetan-syetan di belenggu, dan ada satu malam Ramadhan yang
lebih baik daripada 1.000 bulan; itu semua adalah jurusan akherat. Agar Ummat
Islam ini takut siksa adzab Neraka, dan mengharap Surganya Allah Ta’ala. Tidak
terlena pada mengutamakan kehidupan dunia.
Kesungguhan
ibadah Nabi SAW dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi kesungguhan
ibadah beliau pada dua puluh hari pertama Ramadhan. Aktifitas ibadah beliau
digambarkan oleh hadits di atas adalah
- Menghidupkan malamnya, yaitu mempergunakan
seluruh atau sebagian besar waktu malam dalam ibadah. Terutama sekali
adalah melakukan shalat tarawih dan witir serta membaca Al-Qur’an. Pada
malam selain Ramadhan, shahabat Hudzaifah bin Yaman RA pernah bermakmum
shalat malam kepada Rasulullah SAW. Dalam satu raka’at shalat malam
tersebut, beliau SAW membaca tiga surat sekaligus; Al-Baqarah, An-Nisa’,
dan Ali Imran. Artinya, dalam satu raka’at beliau SAW membaca 5 juz lebih
(HR. Muslim no. 772). Shahabat Ibnu Mas’ud pernah bermakmum shalat malam
kepada Rasulullah SAW di luar bulan Ramadhan. Begitu lama dan panjangnya
shalat beliau SAW, sampai-sampai Ibnu Mas’ud berniat duduk dan
meninggalkan Rasulullah SAW shalat sendirian (HR. Bukhari 1135 dan Muslim
no. 773). Demikian kesungguhan shalat malam (tahajud dan witir) beliau SAW
di luar Ramadhan. Maka bagaimana lagi dengan kesungguhan shalat malam
(tarawih dan witir) beliau SAW di bulan Ramadhan? Terlebih lagi dengan
sepuluh hari terakhir Ramadhan?
- Membangunkan keluarganya, yaitu membangunkan
istri-istri beliau SAW untuk melakukan shalat tarawih dan witir. Di luar
bulan Ramadhan, beliau SAW biasanya membangunkan istrinya ‘hanya’ untuk
shalat witir sebelum waktu Shubuh, seperti yang biasa beliau lakukan
terhadap Aisyah RA (HR. Bukhari no. 512 dan Muslim no. 512)
- Bersungguh-sungguh dalam
ibadah.
Tentunya shalat tarawih dan witirnya lebih lama, bacaan Al-Qur’annya lebih
banyak, dzikir dan istighfar diperbanyak, muhasabah diri lebih banyak. Dan
seterusnya.
- Mengencangkan sarungnya. Mengenai maksud dari
‘mengencangkan sarungnya’, imam An-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat
ulama. Sebagian ulama menyebutkan maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam
beribadah melebihi kesungguhan ibadah pada waktu-waktu yang lain. Sebagian
ulama menjelaskan maksudnya adalah mencurahkan tenaga dan konsentrasi
untuk beribadah semata. Sebagian lainnya menyatakan hal itu adalah bahasa
kiasan atas sikap tidak menggauli istri (pada sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan) agar bisa totalitas dalam ibadah. (Shahih Muslim bi-Syarh
An-Nawawi, 4/282 dan Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/248)
Kesungguhan
ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini memiliki banyak hikmah.
Salah satunya adalah bisa melakukan I’tikaf dan mencari lailatul qadar.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut,
وعن
عائشة رضي الله عنها ، قالت : كَانَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يُجَاوِرُ في
العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، ويقول : (( تَحرَّوا لَيْلَةَ القَدْرِ في
العَشْرِ الأواخرِ منْ رَمَضانَ ))
Dari
Aisyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari
yang terakhir dari bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda,
“Bersungguh-sungguhlah kalian mencari lailatul qadar pada sepuluh hari yang
terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Di
antara hikmah lainnya adalah bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu ibadah yang
istimewa, sebelum bulan istimewa ini benar-benar berlalu. Dengan demikian,
ibadah di bulan suci ini bisa diakhiri dengan husnul khatimah. Bagaimanapun
juga, sang juara ditentukan di garis finis. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi
SAW,
وَإِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya
amal-amal itu tergantung bagaimana dengan penutupannya (bagaimana ia
diakhiri).”
(HR.
Bukhari no. 6607)
(Sumber: https://docs.google.com/document/d/1tefsZBhU1TZz0lEahgyawtDVoFmbK7c1xuC5xa9hbWE/edit)
No comments:
Post a Comment